Hijrahnya Generasi Millenial
Beragam bukan
berarti berbeda. Berwarna,
bukan berarti tidak sama.
Seiring berkembangnya jaman globalisasi,
perkembangan teknologi mempunyai peranan yang besar bagi kalangan masyarakat.
Teknologi disuguhkan pada masyarakat
luas, namun sayangnya banyak mastarakat yang mengalami cultural shock.
Jika dahulu teknologi konvensional digunakan sebagai sarana penunjang utama
informasi dan berita, namun saat ini teknologi dijadikan sebagai media atau
sarana utama dalam komunikasi tanpa mengenal ruang dan waktu.
Kita tahu bahwa Internet mempunyai banyak
manfaat sebagai media utama dalam kehidupan manusia. Diantaranya yaitu
memudahkan dalam mengakses semua informasi dari luar ataupun dalam Negeri.
Selain berdampak positif, internet juga mempunyai dampak negative yang sangat
besar bagi masyarakat, khususnya bagi generasi jaman now (generasi
milenial).
Masyarakat cenderung khawatir ketika
semakin mudahnya mengakses internet, maka akan berdampak negative pada beberapa
persoalan. diantaranya pelanggaran hak cipta, pornografi, penipuan, hingga pada
ujaran kebencian yang berimplikasi pada lahirnya gerakan anarkis. (Pemikiran
& Islam, 2017)
Berdasarkan data yang diambil dari jurnal (Pemikiran
& Islam, 2017), sejak diperkenalkannya media sosial
facebook, youtube, twitter, dan media sosial lainnya, ujaran kebencian semakin
meningkat dari tahun 2000 hingga sekarang. Bahkan ujaran kebencian ini semakin
mengarah kepada cyber crime yang disebabkan karena adanya kritik dan
saran yang apresiasi sebagai bentuk kebebasan mengungkapkan
pendapat secara lisan dan tulisan.
Masyarakat (data pengguna internet di Indonesia) Khususnya generasi Milenial. Kita tahu bahwa
generasi milenial merupakan generasi yang terlahir di era setelah tahun 1994
dimana segala kebutuhan baik dalam informasi maupun kebutuhan lain cepat
terpenuhi. (Angela
& Effendi, 2015)
Hal itu menyebabkan seringkali orang kurang
tepat dalam memahami arti kata “hijrah”. Hijrah berarti putus pada satu sisi
dan persambungan pada sisi lain. Misalnya: sekelompok orang meninggalkan sebuah
perkampungan menuju perkampungan lainnya, sebagaimana sahabat muhajirin yang
meninggalkan Makkah menuju Madinah.(Angela
& Effendi, 2015)
Jadi, dapat dikatakan hijrah adalah
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. selain itu hijrah juga dapat
diartikan sebagai meninggalkan akhlaq dan nafsu yang tercela maupun
meninggalkan dosa dengan segala bentuknya menuju Allah Swt.(Angela
& Effendi, 2015)
Jadi, hijrah bukan hanya dilihat dari cover
atau luarnya saja, tetapi dilihat dari perilaku yang mencerminkan ketaqwaan
kepada Allah.
Namun banyak yang menganggap bahwa hijrah
tidaknya seseorang terukur dari cara berpakaian seseorang. Banyak yang mengukur
ke-Islaman seseorang melalui pakaian yang dikenakannya. Tiga tahun yang lalu ketika
saya melangkahkan kaki di IAIN Surakarta, tepatnya saat melakukan daftar ulang
IAIN Surakarta, saya merasa terkejut. Bagaimana mungkin saya tidak merasa
terkejut, disaat sinar matahari mulai memanaskan segala yang ada di bumi,
terlihat sebagian mahasiswa yang mengusap keringat yang mulai mengucur sampai
di pelipisnya, diiringi alunan adzan yang terdengar dari masjid Bukhori IAIN
Surakarta. Sehingga memaksa saya untuk menghampiri suara adzan yang telah
berkumandang.
Sepatu karet kusut warna pink membawa saya
tuk berhenti di depan masjid, sesegera mungkin saya meletakkan tas dan menuju
ke ruang wudlu untuk berwudlu. Melanjutkan
sholat dhuhur di masjid. Kaki mulai melangkah pelan memasuki masjid, seketika
saya terkejut. Ada wanita yang sholat tanpa mengenakan mukena. Dia hanya memakai
baju yang dikenakannya dan kaos kakin untuk menutupi kakinya. Setelah
menunaikan sholat saya dan teman saya menuju depan gedung laboratorium untuk meet
up bersama. Terlihat dari kejauhan, saya merasa enggan untuk menuju depan
gedung laboratorium.
Ada yang memakai cadar, berbusana muslim
yang besar, dan memakai rok panjang. Berhubung kita sudah berjanji untuk meet
up bersama, dengan berat hati saya beranikan diri menuju tempat duduk di depan
Laboratorium IAIN Surakarta. Semua mata terpusat pada dua gadis yang berjalan menuju
arah mereka. Dua gadis itu mengenakan celana levis, berkemeja kotak – kotak dan
berjaket levis, dan memakai jilbab yang tipis. Kedua gadis itu memberikan
tangan kanannya untuk bisa berjabat tangan dengan harapan agar lebih akrab.
Setelah berbincang – bincang banyak
mengenai perkenalan singkat masing – masing, tiba – tiba teman baru saya
bertanya dengan menunjukkan wajah sinisnya. Pandangannya pada kedua gadis itu
seolah – olah orang akan menagih hutang, alis mata kanannya dinaikkan satu ke
atas dan bertanya pada saya dan teman saya yang juga mengenakan celana. “Sudah
punya cadangan Rok berapa? Di IAIN itu nggak boleh memakai celana lho,
jilbab pun harus didouble kalau jilbab tipis. Harus Syar’i”. Disitulah
saya merasa sedih, mulai dari hal itu saya tidak menjadi diri sendiri.
Dilontarkan pertanyaan seperti itu membuat saya sedih. Yang saya lakukan hanya
diam dan tersenyum, semua mata memandang padaku dan pada temanku.
Lalu lalang mahasiswa lama maupun mahasiswa
baru menjadi pusat perhatian saya saat itu. Sebab saya tidak ingin terlihat
sedih di hadapan mereka. Meet up berakhir dan semua teman mulai kembali
ke masing – masing asalnya. Ada yang kembali ke Pondok, kos maupun pulang ke
rumah. Di perjalanan ke kos, saya dan teman saya mulai memperbincangkan kembali
apa yang terjadi saat meet up. Kebetulan juga saya hanya membawa rok dua
setel dan selebihnya membawa celana. Dulu sebelum masuk ke IAIN, saya
beranggapan bahwa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris boleh mengenakan celana,
ternyata hanya jurusan Sastra Inggris yang boleh mengenakan celana di Fakultas
Keguruan IAIN Surakarta.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung
menuju pasar Kartasura untuk membeli beberapa Rok dan jilbab yang sesuai dengan
mahasiswa IAIN. Pada saat itu, banyak anggapan bahwa keislaman seseorang
ditentukan melalui pakaian yang dikenakannya. Agar seseorang bisa dikatakan
sebagai seorang yang muslimah, harus menutup tubuhnya dengan pakaian yang serba
besar dan jilbab yang tebal. Anggapan seperti itupun tak berlaku ketika saya
berada di tanah kelahiran, Jepara. Justru dengan memakai pakaian serba besar
dianggap telah mengikuti suatu komunitas tertentu.
Terbukti pada saat berkunjung ke rumah
Bapak/Ibu guru di Hari Raya Idul Fitri, saya mengenakan pakaian panjang besar,
dan mengenakan jilbab paris rangkap dua, dengan harapan di hari raya Idul
Fitri, di suasana lebaran agar terlihat sebagai seorang muslimah yang baik atau
biasa disebut dengan Syar’i. Teman – teman justru menjauh dari saya,
tidak ingin mengobrol banyak, maupun bersenda gurau. Mereka terlalu berhati
–hati ketika akan mengucapkan sesuatu. Dan ada satu teman yang dengan lontar
berkata padaku “kamu ikutan Rokhis ya? Atau ikutan aliran apa? Kok sudah tidak seperti
dulu.” Saya hanya bisa tersenyum kecil dan melanjutkan aktivitas.
Di Jepara, di tanah kelahiran saya, baju
ataupun jilbab yang besar dianggap suatu kelompok tertentu. Kalau di Solo, baju
ataupun jilbab yang besar dianggap sebagai tolak ukur keIslaman atau
kemuslimahan seseorang. Sebaiknya jangan menilai seseorang dari pakaian yang
dikenakannya, Don’t judge peole by it’s cover. Belum tentu orang yang
berjilbab besar agamanya lebih kuat dari pada orang yang berpakaian seadanya.
Begitu pula sebaliknya. Seorang muslim tidak dapat diukur melalui apa yang
dapat dilihat oleh panca Indra saja. Tetapi keIslaman ataupun Keimanan
seseorang bisa dilihat dari kebiasaan – kebiasan seseorang di masa hidupnya
terutama dalam segala aspek kehidupan manusia. Melaksanakan kebaikan – kebaikan
dengan Ikhlas, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Daftar Pustaka
Angela, T., & Effendi, N. (2015). Faktor-Faktor Brand
Loyalty Smartphone pada Generasi Y. Experientia, 3, 79–91.
Pemikiran, J., & Islam, P. (2017). FENOMENA HATE SPEECH
DI SOSIAL MEDIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM Isyatul Mardiyati, 11(1),
31–38.
NB : Essay Autobiografi ini telah mengantarkan saya untuk menjadi Duta Literasi Islam Santun dan Toleran (LISAN) SOlo Raya tahun 2018
Posting Komentar untuk "Hijrahnya Generasi Millenial"